PSSI kalah !
Loh, bukankan baru saja sukses mengganyang Malaysia, 5-1? Setahu saya, yang mengalahkan Malaysia 5-1 di ajang Piala AFF itu Timnas Indonesia, bukan PSSI. Bukan karena tak suka (benci) dengan PSSI-nya Nurdin Halid, tapi secara penyebutan pun memang seharusnya begitu. Kita tak pernah dengar Timnas RFEF mengalahkan KNVB di final Piala Dunia bukan?
Lepas dari itu, PSSI dalam hal ini memang sama sekali tak menang. Kemenangan ini adalah hasil kerja keras para pemain yang dikomandoi pelatih Alfred Riedl. PSSI sendiri masih saya anggap gagal, dalam banyak hal.Mereka, NH dan kroninya, masih gagal dalam menggelar kompetisi yang profesional, bersih, dan menjadi kawah pematangan pemain yang akan bermuara pada timnas. PSSI masih gagal dalam pola pembinaan serta pembibitan pemain. PSSI masih gagal dalam……akan panjang rasanya jika menyebut semua kegagalan mereka.
Tapi, timnas baru saja mengalahkan Malaysia secara telak. Benar, satu hal yang patut disyukuri. Tapi, sekali lagi, ini bukan berarti buah sukses PSSI sebagai lembaga. Pelatih dan naturalilasi Cristian “El Loco” Gonzales, bukankah itu dari PSSI? Betul dan PSSI pula yang berulang kali dibuat naik darah (bahkan nyaris memecat) akibat pernyataan atau sikap Riedl yang blak-blakan.
Untuk El Loco, sudah lama wacana naturalisasi digulirkan. Namun, baru kali ini PSSI membuka pintu bagi pemain naturalisasi setelah pemerintah mendorong hal ini. Bagaimana dengan Irfan Bachdim? Pemain ini bukan naturalisasi. Sejak awal dia merupakan WNI. Hal ini juga memperlihatkan buruknya radar PSSI. Nama Bachdim sendiri muncul beberapa tahun lalu kala media ramai memberitakan tentang pemain Indonesia atau berdarah Indonesia yang merumput di Eropa, di antaranya Radja Nainggolan dan Bachdim sendiri.
Bachdim sendiri sudah lama menyatakan ingin memperkuat timnas Indonesia. Namun, baru sekarang dia mewujudkan impiannya. setelah dia datang untuk tampil di Charity Games beberapa bulan lalu dan bergabung dengan Persema. Ke mana PSSI sebelum ini?
Kemenangan atas Malaysia memang sangat membanggakan dan perjuangan para pemain harus dihargai. Apakah puas dengan itu? Sama sekali tidak. Masih banyak kekurangan yang harus dibenahi. Kekurangan yang merupakan buah dari pola pembinaan PSSI.
Seperti yang diungkap Riedl, sulit membentuk tim jika dia harus tetap membenahi teknik dasar dalam permainan macam kontrol bola atau umpan dan fisik. Kelemahan ini masih terlihat dalam pertandingan kemarin.
Pada periode awal, para pemain terlihat gugup, terburu-buru, melepaskan umpan tak akurat, sering kehilangan bola, tak berani memainkan bola lewat umpan-umpan pendek, dan jarak antarpemain acap kali renggang.
Proses dua gol pertama pun lebih karena aksi individu dari Octo Maniani adan Crisgo. Baru gol ketiga yang lahir dari sebuah proses yang bagus. Itu pun setelah Riedl berteriak-teriak meminta pemain untuk lebih berani mengalirkan bola antarpemain, tidak asal melemparkan bola ke depan.
Tapi, kita bemain bagus kok. Firman Utina dkk memang tampil bagus. Namun, kita pernah bermain lebih bagus sekitar enam tahun lalu. Apalagi, lawan tampil tidak dengan kekuatan penuh dengan nyaris pemain inti mereka cedera pasca-Asian Games.
Selain itu, lepas dari urusan politik, publik Malaysia yang menyebut mereka kalah karena Indonesia didukung pemain dan pelatih impor. Kemana 250 juta rakyat Indonesia? Boleh saja marah terhadap komentar tersebut. Tapi, komentar tersebut ada benarnya, bukan? Saya sendiri termasuk orang yang berpendapat, jumlah penduduk tak ada hubungannya dengan prestasi. Namun, khusus Indonesia, saya pun tak habis pikir mengapa sulit memiliki timnas yang tangguh dari ratusan juta penduduk yang ada.
Untuk pemain “impor”, saya pun tak menentang. Toh, negara besar sepak bola macam Jerman dan Italia pun melakukan hal serupa. Langkah apapun demi kemajuan, pantas dicoba. Tapi, jika baru berprestasi setelah ada suntikan pemain naturalisasi, rasanya kok ada yang mengganjal. Ya, ini adalah salah satu bukti dari kegagalan PSSI dalam membangun tim nasional.
Bagi saya, ini hanyalah salah satu bentuk dari pola instan yang dipakai PSSI untuk mengatrol prestasi. Untuk membangun timnas yang tangguh, tak bisa dengan hanya mengirim pemain ke luar negeri. Pola ini sudah terbukti gagal saat program Primavera dan Baretti. Dan, saat ini pola itu kembali diambil lewat program SAD di Uruguay. Bagi saya, kompetisi dan pola pembinaan dini yang berjenjang adalah kunci membangun timnas yang andal. Mengirim pemain ke luar boleh saja, tapi tanpa ada kompetisi berjenjang yang berkualitas, jangan harap prestasi itu datang.
Sekali lagi, kita harus menyambut gembira kemenangan atas Malaysia. Kita juga harus bangga jika kemudian Indonesia akhirnya menjadi juara untuk pertama kalinya. Tapi, jangan biarkan semua itu menjadi legitimasi PSSI pimpinan Nurdin Halid.
Jujur, setalah kemenangan atas Malaysia, terbersit kekhawatiran, tak hanya dari saya, tapi juga dari banyak pecinta sepak bola nasional (terlihat dari komentar-komentar di twitter dan FB). Selama ini Nurdin Halid dituntut mundur karena timnas tak kunjung berprestasi. Lalu, bagaimana jika timnas berhasil menjadi juara? Sudah bisa dipastikan, Nurdin Halid dan kroninya akan mengklaim kesuksesan ini. “Dulu kalian menuntut adanya prestasi, ini buktinya,” mungkin itu yang akan dikatakan Nurdin Halid.
Hmmm, rasanya tidak. Seperti yang tertulis di awal, ini kemenangan timnas Indonesia, bukan PSSI. Lembaga ini tetap harus dirombak total. Apapun hasil di Piala AFF, tuntutan Nurdin Halid dan kroninya turun harus tetap gencar.
Salam perubahan!