Batak:Mengerti adat, tak ingkar janji
Kategori: Wacana Batak || || || ||
BATAK adalah nama sebuah suku di Indonesia. Suku ini kebanyakan bermukim di Sumatera Utara dan terkenal akan logat bahasanya yang terkesan ‘keras’ bagi orang-orang luar. Padahal, bagi mereka logat seperti itu adalah keseharian yang mereka gunakan. Suku ini adalah salah satu suku yang paling berpengaruh di Indonesia di mana mereka banyak yang mengisi jabatan di pemerintah maupun posisi-posisi penting lainnya, seperti di bidang ekonomi.
Ada bermacam-macam marga di dalam sebuah lingkup suku Batak yang pastinya antar mereka terdapat perbedaan karena pengaruh geografis maupun orang yang berkuasa saat itu. Namun
perbedaan tersebut malah menjadikan sebuah keanekaragaman yang menarik dalam kehidupan suku tersebut. Seperti dituturkan Gimmy Rusdin Sinaga, pengusaha yang bergerak di bidang jasa tenaga kerja berasal dari Batak Toba, tak dapat dipungkiri perbedaan antar suku itu pasti ada. Tapi masyarakat Batak menyikapinya dengan arif.
Misalnya, bahasa orang-orang Batak Karo, Tapanuli Selatan dan Simalungun pastinya akan beda dengan Batak Toba. Jika logat yang diucapkan oleh orang Batak terkesan kasar dengan suara besar karena memang sudah tata budaya yang melekat. Hal ini tak lain adalah pengaruh kondisi geografis di Batak yang banyak terdapat pegunungan. Sehingga antar sesama orang Batak akan berbicara dengan suara lantang dan keras.
Pengaruh orang yang berkuasa di daerah tertentu juga ada, seperti misalnya Batak Toba yang terpengaruh orang-orang Belanda sedangkan di Tapanuli Selatan karena banyak pedagang Arab yang mukim disana maka akan pengaruh budayanya tetap ada. Namun hal itu tidak banyak karena mereka masih memegang tinggi adat daerahnya sendiri.
Memang bukan menjadi sebuah budaya jika banyak orang Batak yang merantau ke daerah maupun pulau seberang. Mereka ada yang bekerja maupun menuntut ilmu. Seperti halnya di Yogya yang terdapat ratusan orang-orang dari Batak, mereka yang masih muda-muda banyak yang kuliah di Yogya. Untuk masyarakat Toba di Yogya menurutnya kebanyakan adalah bekerja dan pensiunan karena banyak dari mereka yang masuk menjadi anggota militer.
Sekalipun di rantau suku Batak selalu peduli dengan identitas sukunya, seperti berusaha mendirikan perhimpunan semarga atau sekampung dengan tujuan untuk menghidupkan ide-ide adat budayanya. Mereka mengadakan pertemuan secara berkala dalam bentuk adat ataupun silaturahmi. Hal ini juga dilakukan oleh perhimpunan orang-orang Batak di Yogya. Setiap marga memiliki jadwal pertemuan sendiri untuk sekadar silaturahmi. “Bedanya orang Batak dengan Jawa ketika hendak merantau sangat jelas. Jika orang Batak hendak merantau oleh orang tuanya akan didoakan dan dipestakan secara adat seraya mengatakan kalau belum sukses jangan pulang dulu. Sehingga jarang sekali terlihat orang Batak yang merantau dalam setahun pulang beberapa kali apalagi kalau belum dirasa cukup sukses mereka belum akan kembali ke kampung halaman. Nah, inilah yang menjadikan tanggung jawab besar orang Batak di perantauan,” katanya.
Hal itu berpengaruh terhadap pola hidupnya di rantau sehingga orang-orang Batak akan lebih termotivasi untuk tetap tinggal dan cepat beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Yogya, menurut Gimmy adalah tempat rantau yang menyenangkan dan orang-orangnya pun welcome. Dirinya sudah 25 tahun tinggal di Yogya dan mendapat istri orang Jawa. Seperti halnya orang Jawa ia setiap tahun juga pulang ke Toba.
Ditambahkan Gimmy, ada sekitar 22 kumpulan marga di Yogya. Antar marga di perantauan saling berhubungan. Banyak juga orang Batak yang merantau di Yogya kemudian mendapat istri atau suami orang Jawa. Dalam budaya Batak tidak ada keharusan untuk menikah dengan sesama orang Batak. Hanya saja jika menikah dengan bukan orang Batak maka pasangannya tersebut harus diproses adat untuk mendapatkan marga. “Pemda Sumatera Utara sendiri sangat mendukung dan responsible dengan orang-orang Batak yang merantau. Buktinya mereka masih perhatian dan menjalin kerja sama yang baik. Begitu juga dengan mahasiswa yang merantau hampir 99 persen yang lulus akan kembali ke kampung halaman. Tapi ada juga yang kemudian bekerja dan menetap di perantauan tapi hanya sedikit. Jadi memang ada hubungan yang harmonis,” kata Gimmy.
Dosen Jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta asal Batak Drs Krismus Purba MHum mengemukakan, orang Batak memiliki 5 ciri utama yakni pertamu (selalu menghormati tamu), mengerti silsilah, mengerti adat, tidak ingkar janji dan orang yang beragama (beriman).
Jadi orang Batak selalu membuka pintu bagi siapa saja yang ingin berkunjung ke rumahnya. Orang Batak juga beranggapan bahwa adat itu tidak dipelajari, tetapi dijalani. Sehingga tidak mengherankan jika mayoritas orang Batak mengerti dan paham tentang adat dan kebudayaannya sendiri. Pemahaman terhadap silsilah juga sangat diperlukan. Sebab dalam hubungan antar sesama, nama Marga sangat diperlukan.
Nama Marga yang biasanya melekat di belakang nama orang Batak menunjukkan garis keturunan. Pengertian Marga hampir sama dengan trah dalam budaya Jawa. Sehingga orang Batak yang semarga secara emosional hubungannya akan lebih erat. Bahkan bisa lebih akrab dari saudara kandung sendiri. Bisa dikatakan kedekatan hubungan teritorial mengalahkan kedekatan hubungan biologis. “Sebagai contoh, ketika anak saya di rawat di Rumah Sakit, kakak dan adik saya tidak ada yang datang, karena mereka berada jauh di perantauan. Tetapi mereka yang se-marga dengan saya justru berbondong-bondong datang menjenguk,” kata Krismus.
Layaknya orang Batak yang memiliki sifat utama mengerti budaya, meski sudah 20 tahun tinggal di Yogya, namun ia masih tetap memelihara adat, budaya dan kebiasaan orang Batak. Termasuk di bidang kesenian yang saat ini digelutinya.
Diakui, begitu menjad mahasiswa ISI pada tahun 1986, ia mulai kagum dengan apa yang ada di Yogya, terutama kesenian musiknya. “Terus terang, ketika meninggalkan kampung, saya belum begitu menguasai kesenian musik Batak. Justru Saya merasa lebih Batak setelah tinggal di Yogya. Sebab ketika berada di perantauan dan didukung oleh kerinduan terhadap budaya, kecintaan terhadap tanah kelahiran semakin tumbuh,” tambah Krismus.
Meski demikian, Krismus tetap berusaha melestarikan kesenian musik daerah asalnya. Ini diwujudkan dengan menciptakan sebuah karya seni musik Batak yang konsepnya diambil dari seni gamelan, karawitan atau titi laras.
Karya seni musik garapannya ini juga kerap kali ditampilkan dalam acara ritual di gereja-gereja, pernikahan, perhelatan adat Batak yang digelar di Yogya dan pertunjukan seni.
Ditanya tentang masalah regenerasi pelaku pelestari budaya, ia sama sekali tidak khawatir terhadap hal itu. Menurutnya, kita tidak bisa menghindari suatu kemajuan. Jer basuki mawa bea, kalau seseorang ingin maju, jangan berpikir ke belakang. Sebagai contoh, jika tidak ingin anaknya menikah dengan orang di luar suku Batak, jangan bawa anaknya merantau. Namun dengan konsekuensi, sulit mencapai kemajuan.
Namun ia yakin, meski banyak orang Batak yang merantau ke daerah lain, tetapi kebudayaan akan tetap terpelihara. Dikemukakan, dalam melestarikan adat, apabila nilai suatu masyarakat masih diukur dengan adat maka adat tersebut akan selalu dipelihara. Setiap orang yang lahir di Batak maka secara otomatis akan menjadi penerus dan pelestari budaya setempat.
Drs Jhonson Andar Harianja ST MT, salah satu warga suku Batak yang tinggal di Kota Yogya, sekaligus Wakil Dekan I Fakultas Teknik Universitas Kristen Immanuel (Ukrim) Yogya, menegaskan bahwa Batak merupakan suku, bukan klan atau etnis. Alasannya, orang Batak merupakan warga pribumi asli yang mendiami suatu wilayah tertentu di tanah Sumatera. Sehingga, keliru jika menyebut orang Batak dengan Etnis atau Klan. “Yang benar Batak itu suku, karena orang Batak berasal dari pribumi asli atau suku. Penyebutan Batak Tapanuli, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing dan Batak Pak-Pak itu merupakan pengistilahan semata berdasarkan daerah tempat tinggalnya saja,” kata Jhonson.
Menurutnya, cikal bakal Suku Batak berasal dari daerah Toba, Pulau Samosir, Sumatera Utara. Berputarnya waktu dan zaman menyebabkan orang Batak ikut mengalami perubahan dan terus berkembang. Apalagi, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-harinya mereka mencari lahan baru yang lebih subur, sehingga banyak orang Batak yang merantau dan berpindah tempat. “Sehingga, berkembanglah Batak, menjadi ada Batak Karo, Mandailing dan Batak-Batak lainnya. Namun, bagi saya Batak hanya satu, yakni Suku Batak. Jadi, perbedaan penyebutan Batak-Batak tersebut hanya berdasarkan tempat tinggal semata,” tandas Jhonson.
Katanya, perbedaan penyebutan tersebut cukup mempengaruhi dalam tata pergaulan di dalam kehidupannya bermasyarakat, terutama untuk hal berkomunikasi. Apalagi, karena perbauran budaya itu menyebabkan bahasa dan adat-istiadat mereka, terutama orang Batak perantauan mengalami perkembangan menyesuaikan tempat di mana ia tinggal, tanpa melupakan adat-istiadat aslinya.
Terkait dengan adanya perbauran budaya tersebut menyebabkan perubahan sikap terutama penggunaan bahasa. Sehingga, dalam kehidupan sehari-hari, jika Batak Karo dan Batak Toba bertemu percakapan menjadi kendala. Apalagi, belum tentu orang Batak Karo bisa berbicara bahasa Batak Mandailing. Demikian sebaliknya. Namun biasanya mereka bisa memahami apa yang mereka bicarakan tersebut.
Untuk menyiasati kendala bahasa tersebut orang Batak berupaya melakukan dialog budaya dan sarasehan serta mengenalkan budaya Batak yang asli kepada generasi muda. Dengan demikian diharapkan kesenjangan bahasa tutur tersebut dapat teratasi. Karena penggunaan bahasa tutur itu merupakan kendala utama yang dihadapi sesama Suku Batak.
Jhonson mengatakan, dalam Suku Batak tidak ada istilah fanatisme terhadap bagian suku tersebut. Karena pada dasarnya Batak hanya satu. “Kalapun ada fanatisme suku itu hanya bersifat personal,” tandasnya, seraya mengatakan, jika ada fanatisme suku justru dikhawatirkan dapat mengerus budayanya dari Suku Batak aslinya sendiri.
Menurutnya, pengistilahan Batak Karo, Batak Mandailing dan lain sebagainya itu bagi warga Batak tidak benar. Alasannya Suku Batak berasal dari satu nenek moyang. Selain itu, dalam pengistilahan yang tepat terhadap orang Batak merupakan Suku. Penyebutan di belakang Batak, seperti, Batak Toba, Batak Mandailing itu hanya berdasarkan tempat tinggal saja. Namum demikian jika penyebutan-penyebutan tersebut menjurus fanatisme Suku berdasar tempat tinggal dikhawatirkan menjadi pengeroposan budaya Batak sendiri saja.
Oleh karena itu, paguyuban dan yayasan melakukan pertemuan-pertemuan budaya sehingga dapat meminimalisir tergerusnya budaya Batak tersebut, terutama di bagi orang Batak di tanah perantauannya yang baru. Apalagi, dengan perbauran budaya yang baru cukup berpengaruh dalam kehidupan pergaulan mereka.
Jhonson menambahkan, dalam Suku Batak sendiri juga menganut sistem marga, yang hampir sama dengan penyebutan Trah di tanah Jawa ini. Karena marga merupakan warisan orang tua yang diperoleh sejak lahir dan tidak bisa diubah. Sehingga, nama marga tersebut berasal turun temurun bukan strata sosial.
Menyangkut pengkhususan komunitas marga, kata Jhonson, memang ada. Biasanya, di tempat asalnya di Sumatera Utara, terutama di pedesaan, kehidupan masyarakat Batak mengelompok berdasarkan marganya. “Orang Batak hidupnya mengelompok berdasarkan marga dan hidup berdampingan. Bahkan, dalam kehidupan sehari-hari orang Batak sangat menjunjung tinggi budaya dan adat-istiadatnya,” ujarnya.
Bahkan, ada sejumlah pantangan yang jika di langgar oleh orang Batak, bisa dikeluarkan dari komunitas dan daerah tempat tinggalnya. “Bisa diusir dari daerahnya jika melanggar. Bahkan tidak diakui sebagai marga atau keluarganya. Karena itu, orang Batak cukup hati-hati dalam bergaul sesama orang Batak, terutama di daerah asli asal Batak,” kata Jhonson.
Sedangkan kegemaran bermain catur bagi orang Batak merupakan kebiasaan yang tidak bisa diubah. Bahkan, ada juga permainan catur khusus warga batak yang disebut Marusir. Selain itu, pada masa lalu banyak lagu-lagu Batak yang diciptakan orang Batak. Sehingga banyak orang menyebut orang Batak gemar menyanyi.
Namun, karena perkembangan zaman, budaya Batak mulai tergerus budaya massa. Hanya saja dengan adanya paguyuban seperti Yayasan (Parbopas) Parsadaan Bona Pasogit berupaya melestarikan budaya yang cukup unik tersebut. Dengan melakukan diskusi dan pengenalan adat istiadat budaya Batak asli kepada generasi muda guna regenerasi pelaku budaya Batak. Bahkan dilakukan penelusuran budaya Batak asli ke daerah asalnya di Toba.
Jhonson mengatakan adanya yayasan yang konsen terhadap orang Batak yaitu, Yayasan (Parbopas) Parsadaan Bona Pasogit ini cukup berarti dalam upaya melestarikan budaya Batak. Yayasan ini memiliki tujuan, yakni, mengenalkan budaya Batak kepada generasi muda. Bahkan, yayasan ini melakukan sosialisasi budaya Batak, terutama bagi perantauan Batak agar tidak melupakan budayanya sendiri dan penyebaran informasi seputar budaya Batak.
Pengistilahan Batak Karo, Batak Mandailing dan lain-lain justru menurut Jhonson membingungkan saja. Apalagi, menurut cerita asal mula Batak berasal dari Hindia Belanda atau negeri Yunan yang menyebar dan migrasi ke beberapa daerah dan wilayah lain, termasuk di Sianjur Molana, pulau Andalas, Samosir. Karena menepati daerah baru, di belakang Suku mereka diberi tambahan nama berdasarkan daerah tersebut, semisal orang yang menetap di Toba, menjadi Suku Batak Toba dan seterusnya. “Hanya pemahamannya yang sempit saja pengistilah tersebut,” kata Jhonson. Apalagi, jika dalam perantauannya, jika orang Batak tidak mau disebut sebagai suku Batak itu dikarenakan kecintaannya yang berlebihan saja pada lingkungan barunya. Apalagi, pengaruh budaya luar begitu kuat. Semisal, Suku Batak Karo sangat cukup kental dipengaruhi orang Aceh karena posisinya yang ke arah Utara berdekatan dengan orang Aceh. Demikian juga Batak Simalungun yang dekat dengan Padang, karena letaknya berada di selatan, pengaruh budaya Padang cukup kuat. “Berbeda dengan Toba, relatif lebih orisinil. Bahkan, banyak peninggalan-peninggalan budaya Suku Batak berada di Toba, sehingga adat-istiadat di Toba masih terjaga dengan baik,” ujar Jhonson.
Suku Batak, menurutnya sangat menjunjung tinggi adat-istiadatnya. Bahkan, dalam hal budaya, tidak ada strata sosial berdasarkan jabatan seseorang, umur, kekayaan, dan status sosial lainnya. “Misalnya, meski umur saya lebih tua, dan orang lain itu lebih muda dari saya, namun jika dalam adat dan kedudukan budayanya tersebut lebih tua, ya harus saya hormati betul,” kata Jhonson.
Dalam adat Batak ada prinsip budaya yang dipegang erat, yaitu, prinsip Natalo atau tungku berkaki tiga, isinya yakni berbunyi, hormati sesama orangtua, hati-hati membangun persaudaraan dan mengasihi anak perempuan. Ketiga elemen dasar tersebut dipegang benar oleh orang Batak, sehingga terhindar dari konflik.