Background

Jejak peradaban kampung tua

Danau Toba di Sumatera Utara tidak hanya menyajikan keindahan alam yang eksotis. Di kawasan danau vulkanik ini tersimpan jejak peradaban Batak kuno sebelum kedatangan penginjil Nommensen tahun 1862.

Sisa peradaban ini mudah kita temukan di
Pulau Samosir. Untuk mencapai pulau yang berada di tengah Danau Toba ini cukup mudah, salah satunya adalah dengan menggunakan kapal feri dari Pelabuhan Aji Bata di Kota Parapat. Jika Anda berangkat dari Medan, bisa dicapai dalam waktu tempuh empat jam.


Kalau tidak ingin repot menjelajahi tempat-tempat bersejarah di Samosir, sebaiknya menyewa kendaraan dari Parapat. Pasalnya, kendaraan umum di Samosir ini masih sangat terbatas. Saking terbatasnya, anak-anak di pulau itu harus bertumpuk di atas atap kendaraan pada jam-jam berangkat atau pulang sekolah.

Kapal feri yang membawa kami berangkat dari Pelabuhan Ajibata, Parapat, pukul 10.00, menuju Desa Tomok, Kabupaten Samosir. Perjalanan dengan feri menghabiskan waktu lebih kurang satu jam.

Sebaiknya penumpang kapal membawa pelampung sendiri ketika menyeberangi danau yang dalamnya bisa mencapai 200 meter ini. Sepanjang pengamatan ketika berada di kapal, kami tidak melihat ada pelampung yang siap dipakai dalam keadaan darurat.
Setelah kapal merapat, kami pun menginjakkan kaki di Tomok. Tomok adalah desa berpenghuni sekitar 6.000 jiwa. Desa ini dibangun oleh raja bermarga sidabutar, ratusan tahun lalu.

Berabad-abad lalu, Pulau Samosir dikuasai oleh raja-raja kecil yang memimpin beberapa wilayah desa. Kalau di zaman sekarang, raja kecil mungkin setingkat kepala desa atau camat. Mereka sering berperang. Itulah yang membuat mereka membangun pertahanan untuk melindungi perkampungan yang dihuni keluarga raja dan keturunannya. Perkampungan tua ini sekarang difungsikan menjadi museum.

Tomok

Di Tomok masih ada rumah asli milik Raja Sidabutar. Rumah panggung yang terbuat dari sejenis kayu besi ini masih berdiri kokoh, ditopang tonggak-tonggak kayu besar yang berfungsi sebagai pilar utama. Menurut Parlindungan, pemandu kami, rumah adat orang Batak ini dibangun dengan sistem pasak. Batang-batang kayu saling mengunci dengan pasak yang dipahat langsung pada kayu.

Tidak jauh dari kompleks rumah raja terdapat makam keturunan Raja Sidabutar. Di depan kompleks pemakaman berdiri gapura besar yang kaya dengan ornamen yang diukir dengan warna merah, hitam, dan putih. Ketiga warna itu menjadi simbol spiritual orang Batak.

Di gapura terukir cicak menghadap ke empat payudara. Menurut Mangiring (50), Kepala Adat Desa Tomok, cicak menjadi lambang bahwa orang Batak harus bisa hidup seperti cicak, mudah beradaptasi dengan menempel di mana-mana. Sementara payudara merupakan simbol bahwa ke mana pun si cicak itu pergi, dia harus ingat dengan ibu yang melahirkannya, termasuk tanah kelahirannya.

Begitu masuk kompleks makam, terlihat beberapa peti batu berukir kepala manusia. Peti batu itu tidak tertanam di dalam tanah, tetapi berada di atas permukaan tanah. Di dalam peti itulah raja-raja keturunan Sidabutar dimakamkan.

Dari Tomok, kami melanjutkan perjalanan menuju  Desa Simanindo. Di desa itu terdapat kompleks perkampungan tua Huta Bolon Simanindo. Dalam bahasa Batak, huta bolon berarti "kampung besar". Perkampungan yang berada di tepi Danau Toba ini dibangun oleh Raja Simanindo.

Untuk menuju Huta Bolon Simanindo harus menempuh jarak sekitar 20 kilometer dari Tomok. Perjalanan ke Simanindo melewati tepian Danau Toba yang indah. Kawasan perbukitan dengan hutan yang mulai gundul di sana-sini menjadi pemandangan di sepanjang perjalanan.

Sejarah kelam

Tidak berapa lama sampailah di perkampungan tua Huta Bolon Simanindo. Gapura sebagai penanda nama perkampungan itu catnya sudah kusam. Beberapa makam berbentuk rumah milik keluarga Raja Simanindo berderet di pinggir jalan.

Bentuk perkampungan Huta Bolon Simanindo berbeda dengan perkampungan Tomok yang sekelilingnya dibatasi  pagar batu. Untuk menahan serangan musuh, Raja Simanindo membangun dinding tanah dengan rumpun hutan bambu yang ditanam rapat di atas dinding tersebut.

Hanya ada dua pintu gerbang untuk keluar-masuk perkampungan itu. Menurut Onsan Naibaho, penjaga museum, dulu penjaga di pintu gerbang itu bersenjatakan tombak beracun.

Di dalam perkampungan tadi ada dua deret rumah yang dibangun  berhadap-hadapan. Satu deret merupakan rumah raja dan keluarganya, sementara deretan rumah yang lainnya adalah lumbung, rumah pengawal, dan ruang keluarga raja.

Di bagian tengah tertancap kayu tonggak untuk mengikat kerbau yang dipakai dalam ritual persembahan. Menurut Naibaho, dulu ketika turis masih banyak berkunjung ke Danau Toba, di Huta Bolon Simanindo sering digelar seni tradisional, seperti tarian sigale-gale dan tor-tor tunggal panaluan. Pertunjukan itu merupakan rekonstruksi ritual yang diadakan masyarakat Batak Toba kuno.

Pada papan pengumuman di depan museum tertulis pertunjukan diadakan setiap hari, yaitu pada pukul 10.30-11.45 dan pukul 11.45-12.10. Namun, sekarang, karena turis masih sepi, pertunjukan lebih banyak diadakan berdasarkan pesanan.

Sekarang mari kita ke bagian terkelam dari sejarah orang Batak, yaitu di perkampungan tua Huta Siallagan di Desa Ambarita, Samosir. Di perkampungan itu, sebelum orang Batak mengenal agama Kristen, Raja Siallagan menghukum pancung musuh-musuhnya.

Perkampungan itu dikelilingi tembok yang dibangun dari susunan batu-batu alam. Di tengah kampung,terdapat meja batu dengan kursi batu yang tertata melingkar. Situ itu disebut batu sidang. Menurut Bagus Simatupang, pemandu di museum itu, batu sidang yang tertata melingkar di bawah pohon beringin itu usianya sudah lebih dari 200 tahun.

Di masa lalu, sebelum menghukum penjahat atau musuh, Raja Siallagan dan tetua desa mengadakan sidang di batu sidang. Setelah disidang, musuh atau penjahat dibawa ke tempat eksekusi yang berada di belakang perkampungan.

Tempat eksekusi itu tata letaknya mirip dengan batu sidang. Hanya saja di situ ada satu batu besar yang bentuknya memanjang dan batu besar dengan cekungan di tengahnya. Batu besar yang memanjang itu untuk membaringkan musuh raja sebelum disayat-sayat tubuhnya untuk menghilangkan ilmu kebal yang dimiliki sang musuh. Setelah disayat, kepala musuh dipenggal di batu cekung.

”Dulu saking bencinya terhadap musuh, Raja Siallagan rela memakan jantung korban,” kata Simatupang. Ritual itu hilang setelah Nommensen menyebarkan agama Kristen di wilayah Samosir.
Kompas Cetak

Categories: Share

Leave a Reply